Sabtu, 28 April 2012

KEMISKINAN DAN TOPENG MONYET


Hari ini bukan untuk yang pertama kalinya saya mendengar kabar mengenai demonstrasi oleh pihak tertentu untuk menentang topeng monyet. Hal tersebut bermula ketika sekelompok warga negara asing dari sebuah organisasi menggelar unjuk rasa di ibu kota beberapa waktu yang lalu. Bukan tidak beralasan mereka berdemonstrasi, mereka menganggap bahwa topeng monyet hanya merupakan salah satu modus yang digunakan untuk mengemis di jalanan, belum lagi cara yang digunakan dalam melatih monyet-monyet tersebut dinilai tidak baik dan dianggap sebagai penyiksaan binatang.

Topeng monyet memang bukan sebagian dari budaya, karena topeng monyet hanya sebuah kesenian tradisional yang terkenal di berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di beberapa negara seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea topeng monyet banyak digemari oleh masyarakat. Topeng monyet menampilkan atraksi dari monyet yang didampingi oleh pawang dengan diiringi musik dari gendang kecil maupun radio tape, atraksi dari si monyet dinilai lucu oleh anak-anak, sehingga kumpulan anak-anak yang menonton atraksi topeng monyet menjadi keuntungan tersendiri bagi tukang topeng monyet.

Perdebatan mengenai larangan topeng monyetpun semakin nampak, banyak yang pro tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Saya sendiri menilai unjuk rasa yang dilakukan oleh warga asing tersebut tidak sepenuhnya salah, karena maksud mereka juga sebenarnya baik, yaitu mencintai sesama makhluk tuhan terlebih monyet merupakan hewan yang dilindungi. Memang tidak seharusnya para tukang topeng monyet mempertontonkan atraksi topeng monyet di pinggir jalan, sebab hal tersebut dapat menghambat lalu lintas di ibu kota yang seringkali macet. Mungkin saja dengan kehadiran topeng monyet, lalu lintas semakin tidak terkendali sehingga kemacetan semakin meningkat. Namun akan lebih baik lagi apabila sesama pengguna jalan lebih tertib menggunakan jalan umum dan lebih mematuhi rambu lalu lintas.

Mengenai anggapan bahwa dalam pelatihan topeng monyet ada unsur penyiksaan binatang, mungkin lebih arif apabila para tukang topeng monyet mendapatkan ilmu atau pengetahuan mengenai cara melatih hewan dengan teknik yang baik dan dinilai tidak menyiksa dari pawang-pawang binatang yang sudah ahli. Sebab, mau tidak mau pemerintah tidak bisa begitu saja di paksa untuk menghentikan topeng monyet atau membuat larangan topeng monyet.

Topeng monyet yang sudah dikenal luas oleh masyarakat kita ini merupakan salah satu bentuk mata pencaharian bagi sebagian orang di Indonesia. mereka mungkin tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang tukang topeng monyet. Dalam sehari penghasilannya saja tidak tetap, jangankan untuk bermewah-mewah, untuk makan sehari-hari saja belum pasti. Terlebih biasanya monyet-monyet yang digunakan para tukang topeng monyet adalah monyet sewaan, jadi mereka juga harus menyetor uang yang mereka peroleh kepada pemilik monyet.

Manusia mana yang ingin hidup serba kekurangan, begitu pula para tukang topeng monyet. Keadaan yang menuntut mereka jadi tukang topeng monyet. Jika topeng monyet dilarang, mereka mau kerja apalagi? bukankah di Indonesia ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? jangankan layak, yang tidak layak asal halal saja masih susah. Inilah potret antara kemiskinan dan topeng monyet. Mari kita sadari ini dan beri solusi bersama dalam membangun negeri.

ANAK JALANAN DAN PENDIDIKAN


ANAK SEKECIL ITU BERKELAHI DENGAN WAKTU ...
DEMI SUATU TUJUAN YANG KERAP GANGGU TIDUR MU ...
ANAK SEKECIL ITU TAK SEMPAT NIKMATI WAKTU ...

DI PAKSA PECAHKAN KARANG LEMAH JARI MU TERKEPANG . . .


Kutipan singkat lagu dari Iwan Fals diatas di rasa tepat menggambarkan Potret Kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini. Masalah-masalah sosial terus bermunculan menambah “PR” sekaligus cambuk bagi negeri ini untuk kembali bercermin sebagai bangsa yang besar. Bangsa yang seolah bisu melihat anak-anaknya hidup di bawah garis kemiskinan. Anak seumur mereka yang seharusnya mengenyam pendidikan, tetapi harus hidup di tempat yang tidak seharusnya mereka berada. Apakah hanya milik mereka yang punya uang saja, sementara mereka yang mempunyai hak-hak yang sama tempat mereka di sana di pinggir dan di trotoar-trotoar jalanan? Di mana fungsi dan kewajiban negara? Sebagaimana di amanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 31 tentang Pendidikan dan Pada Bab XIV Tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 34. “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan - Fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara”. Sudahkah negara menjamin sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan?

Para elit-elit bangsa ini terlalu sibuk, sibuk akan korupsi, sibuk mengejar kedudukan dan jabatan, sampai mereka lupa akan Tugas dan Kewajiban mereka dalam Peranan sosial dan Pendidikan. Suatu bangsa akan besar apabila sadar akan nilai penting dari pendidikan yang mencerdaskan bangsa, yang sudah tentu secara tidak langsung  akan meningkatkan kualitas hidup warga masyarakatnya sendiri.

Nilai Tinggi dari kualitas pendidikan nantinya akan menentukan arah peradaban bangsa. Maju atau tidaknya suatu bangsa dilihat juga dari kualitas pendidikannya. Sampai kapan Bangsa ini mau di samakan sebagai bangsa yang “Terbelakang”?.

Bangsa-bangsa lain sibuk dan berlomba-lomba untuk maju mengejar peradaban, tetapi bangsa ini seakan berdiam diri  hidup seperti di zaman Batu. Saatnya bangsa ini bangkit, saatnya bangsa ini menghargai pendidikan. Pendidikan sebagai jawaban, pendidikan untuk peradaban. Maju terus pendidikan Indonesia.

Rabu, 25 April 2012

GENG MOTOR DAN HILANGNYA RASA AMAN


Publik Jakarta tersentak tatkala geng motor mengamuk. Mereka menebar teror pada dini hari tanpa ada satu pun aparat keamanan muncul untuk mengatasinya. Kenapa publik tersentak? bukankah selama ini geng motor sudah menebar teror di mana-mana? Selama ini publik Jakarta memang abai terhadap keberadaan geng motor. Mereka juga lupa bahwa teror yang ditebar geng motor sudah begitu mengkhawatirkan. Bayangkan saja, pada 2009 ada 68 orang tewas di arena balapan liar, tempat geng motor berkumpul. Pada 2010 ada 62 orang tewas dan 2011 ada 65 tewas. 

Korban tewas umumnya akibat kecelakaan dalam balapan liar, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Pada April ini saja ada dua korban tewas setelah dikeroyok geng motor. Satu di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan dan satu lagi anggota TNI AL yang dikeroyok di Kemayoran, Jakarta Pusat. Saat itu tak ada publik Jakarta yang peduli. Para pejabat di negeri ini pun seperti cuek bebek menyikapi teror yang ditebar geng motor tersebut. 

Tapi tatkala geng motor mengamuk pada Jumat dini hari, publik Jakarta langsung terbeliak. Menko Polhukam bahkan angkat bicara. Fenomena ini menunjukkan bahwa geng motor Jumat dini hari itu adalah geng motor yang luar biasa sehingga begitu mendapat perhatian yang luar biasa pula dari publik dan para pejabat negara. Perhatian yang luar biasa ini dapat dipahami sebab aksi mereka memang luar biasa, mulai dari Jakarta Utara hingga Jakarta Pusat. 

Mereka bisa mengamuk selama tiga jam di ibu kota negara tanpa diketahui dan dicegah aparat keamanan. Mereka bisa bebas melempari kantor polisi, menganiaya sejumlah orang,menusuk anggota masyarakat hingga tewas, dan melakukan penyerangan di delapan lokasi. Bayangkan, jika geng motor ini merupakan pasukan teroris, akan jadi apa Jakarta pada Jumat dini hari. 

Dua Fenomena 

Dari peristiwa Jumat dini hari itu ada dua fenomena yang patut dicermati. Pertama, benarkah mereka anggota geng motor? Dari tipikalnya sulit dipercaya bahwa mereka adalah anggota geng motor. Melihat ulahnya, kita jadi teringat kerusuhan Mei 1998 di mana saat itu ada ratusan orang yang berkonvoi dan melakukan penyerangan terhadap toko-toko di Jakarta hingga berhasil memprovokasi warga sekitar untuk menciptakan kerusuhan massal maupun penjarahan. 

Dengan latar belakang ini, kita patut bertanya,adakah aksi penyerangan ini berkaitan dengan baru disahkannya RUU Pengaman Konflik Sosial (PKS) oleh DPR? Bisakah aksi Jumat dini hari itu dinilai sebagai momentum untuk “uji coba” terhadap keampuhan RUU PKS? Sebab pola penyerangan mereka berbeda dengan aksi pengeroyokan yang biasanya dilakukan geng motor di Jakarta. 

Selama ini pola yang dipakai geng motor di Jakarta hanya melakukan pengeroyokan di satu tempat tertentu, di arena balapan liar. Sementara pola penyerangan geng motor Jumat dini hari itu menyebar konflik ke delapan tempat di Jakarta Utara dan pusat serta memukuli orang-orang yang berkumpul. Sepertinya hendak memprovokasi kemarahan warga sekitar dan memicu konflik sosial yang lebih luas. 

Kedua, aksi Jumat dini hari menimbulkan fenomena baru yakni munculnya geng motor kagetan. Artinya, brutalisme geng motor di Jakarta mulai dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Dengan aksi brutalisme yang dilakukan geng motor, kelompok-kelompok tertentu tersebut dalam menjalankan misinya bisa berlindung di balik atas nama dendam, solidaritas korps, dan krisis kepercayaan pada polisi yang memang kurang serius dalam menuntaskan kasus-kasus di seputar geng motor. 

Pembiaran 

Pembiaran terhadap geng motor terlihat nyata dari sikap polisi yang membiarkan arena balapan liar berkembang pesat di Jakarta. Padahal arena balapan liar adalah tempat komunitas geng motor berkumpul. Kehadiran geng motor di Jakarta berbeda dengan keberadaan geng motor di kota lain. Di Bandung misalnya geng motor muncul dari kelompok-kelompok touring sepeda motor. Sedangkan di Jakarta, geng motor muncul dari arena balapan liar.

Pada 2009 di wilayah hukum Polda Metro Jaya ada 20 lokasi balapan liar. Kini pada 2012 ada 80 lokasi. Akibat pembiaran yang dilakukan polisi arena balapan liar menyebar ke wilayah pinggiran Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Balapan liar yang mereka lakukan kerap mengancam keselamatan masyarakat pengguna lalu lintas. Apalagi mereka memiliki lima lokasi favorit yang menantang yakni Warung Buncit dengan tikungan tajam, turunan, dan tanjakan. 

Rawapanjang Bekasi jalur lurus yang penuh truk dan kontainer. Kemayoran jalur panjang dan rata. Klender jalur sempit dan gelap. Asia Afrika jalur pendek dan ada tikungan tajam di bundaran.Pondok Indah jalur bergengsi. Tak jarang anak muda dengan usia 14 hingga 22 tahun di lokasi balapan liar ini terkapar di dalam got, nyangkut di pagar atau masuk ke kolong truk. Meski demikian, tak ada kata jera bagi anggota geng motor. Bisa jadi,hal ini karena ada adu gengsi uji nyali dan sekaligus bursa taruhan yang menggiurkan. Di lokasi-lokasi balapan liar taruhannya cukup mengejutkan yakni antara satu juta hingga lima juta untuk satu track.

Tindakan Konkret 

Berbagai fenomena yang muncul di seputar arena balapan liar dan geng motor tampak harus segera dicermati jajaran kepolisian untuk kemudian diambil tindakan konkret. Dalam hal ini Polda Metro Jaya perlu memaksimalkan peranan polsek dan polres untuk memberantas geng motor dan balapan liar ini. 

Selain melakukan tindakan tegas, polsek dan polres lewat aparat Babinkamtibmas serta Polmasnya perlu melakukan pendekatan kepada orang tua yang anaknya terlibat dalam balapan liar dan geng motor agar ikut mengawasi maupun mengendalikan kebrutalan anak-anak mereka. Kini sejak Jumat malam polisi bekerja sama dengan TNI aktif melakukan patroli. Publik tentu berharap patroli pemberantasan geng motor dan balapan liar yang dilakukan aparat keamanan di Jakarta sekarang ini jangan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. 

Sabtu, 14 April 2012

KISAH SEORANG KAKEK: KEJUJURAN HIDUP


Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. 

Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.

Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: 

“Bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu. 

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Saudaraku, "Di antara sekian jenis kemiskinan", kata KH. Rahmat Abdullah, "yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam". Walaupun kondisi fisiknya tak sempurna, walaupun pendidikannya rendah, walaupun usianya tak lagi muda.. Izzah (kehormatan) dirinya dalam bekerja mencari penghasilan yang halal harus kita hargai daripada yang meminta-minta. Walaupun tidak salah apabila kita memberikan sedekah kepada siapapun yang kita lihat ketika beliau orang-orang tersebut membutuhkan uluran pertolongan kita. Semoga menginspirasi kebaikan. (F.N. Al-Fatih)

Minggu, 01 April 2012

MASIH ADAKAH BUDAYA MALU?

Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga
Negeriku, ngeriku

Itulah salah satu potongan lirik lagu "Negeriku" yang dikumandangkan oleh Iwan Fals membuat saya yang tengah membaca berbagai berita tentang kenaikan BBM, korupsi, kolusi, selingkuh dan narkoba, seakan tersadarkan. Ini dia kata kunci yang sedang saya cari. Malu!

Ya, seharusnya saya tidak melupakan bahwa budaya malu itu dulu begitu melekat dalam diri dan menjadi ciri khas bangsa ini, berdampingan dengan sifat ramah. Tapi ada yang berkilah, masa lalu toh sudah lewat. Kini kita hidup di era modern yang serba instan dan pragmatis. Hal ini konon membuat nilai-nilai dan norma yang melekat dalam diri anak bangsa secara perlahan mulai tergerus oleh zaman.

Media cetak dan media elektronik setiap hari me­nyuguhkan aneka berita yang membuat kita terheran-heran, yang sulit diterima akal sehat. Anda boleh terpana dan geleng-geleng kepala melihat betapa tokoh-tokoh politik, selebritas dan bahkan tokoh agama diberitakan terlibat kasus semisal korupsi, kolusi, nar­koba, ricuh saat sidang paripurna, dan bahkan tindakan asusila. Keheranan kita semakin menjadi-jadi ketika menyak­sikan bahwa para pelakunya ternyata masih mampu berha­dapan dengan publik tanpa rasa bersalah dan sama sekali tidak menyiratkan rasa malu.

Yang tampak kasat mata belakangan ini adalah perilaku sejumlah tokoh politik dan pemerintah yang ucapannya bertolak belakang dengan kenyataan, aparat penegak hukum yang justru menabrak rambu-rambu hukum serta debat kusir antara sesama mereka. Kelompok masyarakat pun tidak mau kalah. Alih-alih mematuhi aturan hukum, mereka lebih memilih amuk massa sebagai solusi penyaluran aspirasi. Negeri pun jadi gon­jang-ganjing sementara pe­mimpin negeri ini biasanya selalu terlambat dalam me­nyikapinya.

Dewasa ini uang telah menjadi raja dalam arti yang sesungguhnya. Uang terbukti efektif sebagai pemersatu kelompok-kelompok yang tadinya berseberangan. Inilah potret negeri yang kebablasan, seperti sindiran Iwan Fals dalam lagunya sebagai negeri para penipu yang tidak punya rasa malu.

Sebagian kita boleh saja menyalahkan zaman, menuding modernisasi sebagai biang keladi perubahan budaya anak bangsa. Tapi asumsi ini mudah dibantah karena negara lain yang jauh lebih modern dari kita seperti Jepang dan Korea ternyata masih memegang teguh budaya malu itu.

Di sana, seorang pemimpin yang gagal menjalankan tugas atau melakukan kesalahan fatal, termasuk korupsi dan berbuat asusila, yang ber­sangkutan biasanya akan me­ngundurkan diri dari kursinya. Da­lam kasus yang ekstrem, ada yang bahkan sampai memilih bu­nuh diri saking tak tahan me­nanggung malu. Memang yang terakhir ini tidak patut kita tiru karena agama Samawi melarang keras tindakan bunuh diri. Namun andaikata agama tidak mengharamkan bunuh diri, saya hampir 100% yakin bahwa pemimpin kita yang berbuat salah atau terbukti menyeleweng tidak akan bunuh diri. Soalnya rasa malu itu sudah lama kita tinggalkan.