Minggu, 01 April 2012

MASIH ADAKAH BUDAYA MALU?

Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga
Negeriku, ngeriku

Itulah salah satu potongan lirik lagu "Negeriku" yang dikumandangkan oleh Iwan Fals membuat saya yang tengah membaca berbagai berita tentang kenaikan BBM, korupsi, kolusi, selingkuh dan narkoba, seakan tersadarkan. Ini dia kata kunci yang sedang saya cari. Malu!

Ya, seharusnya saya tidak melupakan bahwa budaya malu itu dulu begitu melekat dalam diri dan menjadi ciri khas bangsa ini, berdampingan dengan sifat ramah. Tapi ada yang berkilah, masa lalu toh sudah lewat. Kini kita hidup di era modern yang serba instan dan pragmatis. Hal ini konon membuat nilai-nilai dan norma yang melekat dalam diri anak bangsa secara perlahan mulai tergerus oleh zaman.

Media cetak dan media elektronik setiap hari me­nyuguhkan aneka berita yang membuat kita terheran-heran, yang sulit diterima akal sehat. Anda boleh terpana dan geleng-geleng kepala melihat betapa tokoh-tokoh politik, selebritas dan bahkan tokoh agama diberitakan terlibat kasus semisal korupsi, kolusi, nar­koba, ricuh saat sidang paripurna, dan bahkan tindakan asusila. Keheranan kita semakin menjadi-jadi ketika menyak­sikan bahwa para pelakunya ternyata masih mampu berha­dapan dengan publik tanpa rasa bersalah dan sama sekali tidak menyiratkan rasa malu.

Yang tampak kasat mata belakangan ini adalah perilaku sejumlah tokoh politik dan pemerintah yang ucapannya bertolak belakang dengan kenyataan, aparat penegak hukum yang justru menabrak rambu-rambu hukum serta debat kusir antara sesama mereka. Kelompok masyarakat pun tidak mau kalah. Alih-alih mematuhi aturan hukum, mereka lebih memilih amuk massa sebagai solusi penyaluran aspirasi. Negeri pun jadi gon­jang-ganjing sementara pe­mimpin negeri ini biasanya selalu terlambat dalam me­nyikapinya.

Dewasa ini uang telah menjadi raja dalam arti yang sesungguhnya. Uang terbukti efektif sebagai pemersatu kelompok-kelompok yang tadinya berseberangan. Inilah potret negeri yang kebablasan, seperti sindiran Iwan Fals dalam lagunya sebagai negeri para penipu yang tidak punya rasa malu.

Sebagian kita boleh saja menyalahkan zaman, menuding modernisasi sebagai biang keladi perubahan budaya anak bangsa. Tapi asumsi ini mudah dibantah karena negara lain yang jauh lebih modern dari kita seperti Jepang dan Korea ternyata masih memegang teguh budaya malu itu.

Di sana, seorang pemimpin yang gagal menjalankan tugas atau melakukan kesalahan fatal, termasuk korupsi dan berbuat asusila, yang ber­sangkutan biasanya akan me­ngundurkan diri dari kursinya. Da­lam kasus yang ekstrem, ada yang bahkan sampai memilih bu­nuh diri saking tak tahan me­nanggung malu. Memang yang terakhir ini tidak patut kita tiru karena agama Samawi melarang keras tindakan bunuh diri. Namun andaikata agama tidak mengharamkan bunuh diri, saya hampir 100% yakin bahwa pemimpin kita yang berbuat salah atau terbukti menyeleweng tidak akan bunuh diri. Soalnya rasa malu itu sudah lama kita tinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar