Salah satu penyebab kemiskinan adalah bila kita mengkonsumsi sesuatu yang tidak bisa kita produksi sendiri – karena berarti kita harus membelinya dari luar – tetapi inilah yang terjadi di negeri ini selama 50 tahun terakhir. Lima puluh tahun lalu tepatnya 1961, Indonesia hanya mengimpor gandum sebanyak 153,000 ton , tetapi kini (data terakhir FAO baru 2007) impor itu menjadi 5.5 juta ton atau naik menjadi 36 kali-nya – padahal dalam rentang waktu tersebut jumlah penduduk kita ‘hanya’ menjadi 2.5 kalinya. Jadi untuk setiap penduduk negeri ini, ada peningkatan konsumsi bahan pangan yang tidak bisa kita produksi sendiri untuk gandum saja sebesar lebih dari 14 kali lipat selama setengah abad ini.
Untuk bahan makanan tradisional kita, tahu tempe misalnya – lima puluh tahun lalu seluruhnya di supply kebutuhan bahan baku kedelainya oleh produksi kedelai dalam negeri yang mencapai 426,000 ton pada tahun tersebut. Kini produksi kedeleai kita naik hampir 40 %nya menjadi sekitar 593,000 ton, tetapi bila setengah abad lalu kita tidak mengimpor kedelai sama sekali – sekarang kita mengimpor kedelai sampai 2.2 juta ton atau sekitar 3.7 kali produksi kita sendiri.
Lantas dimana masalahnya ?. Di contoh pertama, makanan dari gandum – tanpa sengaja kita telah menjadi korban pemasaran globalnya negara produsen gandum. Bagaimana mungkin negeri dengan produksi gandum nol, berubah menjadi konsumen gandum yang begitu besar dan terus meningkat setiap tahunnya ?.
Di contoh kedua kedelai, bisa jadi kita menjadi korban prioritas kita sendiri. Bahan makanan dari kedelai yang mestinya sangat memungkinkan untuk ditanam dengan cukup di negeri ini – ternyata tidak meningkat secara berarti selama setengah abad terakhir, padahal sudah pasti ada peningkatan kebutuhan yang begitu besar – karena naiknya jumlah penduduk. Walhasil peningkatan kebutuhan ini pula yang ditangkap oleh para pemasar global untuk komoditi kedelai.
Itulah sebagai gambaran apa yang terjadi selama 50 tahun terakhir di negeri ini, nampaknya kita gagal mengantisipasi sisi demand atas kebutuhan pokok kita sendiri – atau sengaja digagalkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, untuk kemudian mereka dapat mengisi sisi supply – yang memang nyatanya tidak bisa kita isi sendiri.
Tetapi saya pikir tidak ada gunanya kita mengeluhkan apa yang sudah terjadi selama setengah abad lebih ini, yang lebih penting adalah bagaimana agar anak-anak cucu kita kelak tidak lebih buruk lagi keadannya. Apa yang kita rasakan kini adalah buah karya kita sendiri di masa lalu, maka kini waktunya kita berkarya maksimal agar anak cucu kita bisa menikmati hasilnya kelak.
Sekedar pembanding, berikut adalah apa-apa yang dilakukan oleh orang lain diluar sana untuk mengantisipasi kebutuhan masa depannya :
· Hedge Fund – George Soros, Investment House seperti Blackrock, dan retirement plan giants seperti TIAA-CREF telah mulai menanamkan investasinya di ladang-ladang perkebunan dimana-mana, “from Midwest to Ukraine to Brazil”.
· Lord Jacob Rothchild, melikuidasi aset perusahaannya di London Stock Exchange untuk ditanamkam dalam investasi bisnis agrikultur dan membeli sebuah perusahaan agrikultur di Brazil bernama Agrifirma Brazil.
· Daewoo Logistic mengumumkan investasi US$ 6 milyar untuk menyewa hampir separuh “arable land” , tanah subur atau tanah yang bisa ditanami di Madagascar.
· Para investor dari Timur Tengah mulai berinvestasi di Blue Nile dan White Nile Sudan yang dihuni mayoritas kaum muslim di Sudan bagian Utara yang akan potesial untuk dikembangkan menjadi “Agricultural Power House in The World”. · Private Equity besar dari Canada AgCapital mulai berinvestasi di lahan-lahan perkebunan.
· Seorang perempuan Amerika bernama Shonda Warner yang berkarir sebagai derivative trader di Goldman Sach dan kemudian menjadi hedge fund executive di London, meninggalkan karir gemerlapnya, balik lagi ke kampung halamannya masuk ke dalam bisnis agrikultur. Kemudian dia mendirikan firma investasi untuk agrikultur dengan strategi sederhana “Buy undervalued farm land and profit the coming global agriculture boom”.
Bukan hanya pihak swasta, negara-negara di dunia-pun terus bergegas berlomba-lomba membeli atau menyewa lahan-lahan di seluruh dunia untuk mengantisipasi kebutuhan masa depannya.
· China mengumumkan investasi bisnis agrikultur di Africa sebesar US$5 milyar – ini baru permulaan. Mereka mau mangamankan pasokan pangannya karena populasi mereka 20% dari populasi dunia namun lahan yang bisa ditanami hanya 7%.
· Qatar, Abu Dhabi dan Saudi Arabia diberitakan telah mulai membeli dan menyewa lahan-lahan pertanian, perkebunan di seantero Asia dan Africa.
· Negara-negara kaya dan didukung oleh perusahaan-perusahaan swasta kelas dunia, perusahaan-perusahaan investasi kelas kakap, seolah kini sedang berlomba mencari, membeli, menyewa lahan-lahan pertanian dan perkebunan di manapun di seluruh dunia dengan mengerahkan seluruh kekuatannya.
Melihat fenomena-fenomena diatas, saya seperti sedang membaca cerita terindah di al-Qur’an tentang nabi Yusuf – mereka tahu dunia akan kekurangan pangan – oleh karenanya mereka berusaha ‘bercocok tanam dengan sungguh-sungguh’ untuk menghadapi masa paceklik. (QS 12 :47).
Sedangkan kita apa yang kita lakukan? hampir setiap hari kita disuguhi dengan kesibukan luar biasa oleh para pemimpin-pemimpin kita. Mereka bukan sibuk bekerja untuk menyiapkan rakyat agar siap mengatasi paceklik yang akan datang, mereka bukan sibuk menggerakkan dana dan seluruh kekuatan yang kita miliki untuk ‘bercocok tanam secara sungguh-sungguh’, mereka sibuk untuk urusan-urusan panggung politik yang tidak ada kaitannya dengan kemakmuran rakyat. Bahkan untuk urusan kisruh sepakbola saja – seolah negeri ini telah kehabisan resources untuk mengatasinya – tidak bisa teratasi oleh bangsa sendiri dan harus menyerah pada keputusan pihak luar.
Tetapi sekali lagi, tidak ada gunanya kita meratapi ini. Kita bisa mulai berbuat dari diri kita sendiri, mulai dari yang kita bisa dan kita tahu – insyaAllah Allah akan memberitahu apa yang kita belum tahu. Kalau bukan kita-kita sendiri yang mulai berbuat, lantas siapa lagi yang akan melakukannya untuk kita, untuk anak-anak dan cucu-cucu kita ?. InsyaAllah kita bisa !. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar