Sabtu, 28 April 2012

KEMISKINAN DAN TOPENG MONYET


Hari ini bukan untuk yang pertama kalinya saya mendengar kabar mengenai demonstrasi oleh pihak tertentu untuk menentang topeng monyet. Hal tersebut bermula ketika sekelompok warga negara asing dari sebuah organisasi menggelar unjuk rasa di ibu kota beberapa waktu yang lalu. Bukan tidak beralasan mereka berdemonstrasi, mereka menganggap bahwa topeng monyet hanya merupakan salah satu modus yang digunakan untuk mengemis di jalanan, belum lagi cara yang digunakan dalam melatih monyet-monyet tersebut dinilai tidak baik dan dianggap sebagai penyiksaan binatang.

Topeng monyet memang bukan sebagian dari budaya, karena topeng monyet hanya sebuah kesenian tradisional yang terkenal di berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di beberapa negara seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea topeng monyet banyak digemari oleh masyarakat. Topeng monyet menampilkan atraksi dari monyet yang didampingi oleh pawang dengan diiringi musik dari gendang kecil maupun radio tape, atraksi dari si monyet dinilai lucu oleh anak-anak, sehingga kumpulan anak-anak yang menonton atraksi topeng monyet menjadi keuntungan tersendiri bagi tukang topeng monyet.

Perdebatan mengenai larangan topeng monyetpun semakin nampak, banyak yang pro tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Saya sendiri menilai unjuk rasa yang dilakukan oleh warga asing tersebut tidak sepenuhnya salah, karena maksud mereka juga sebenarnya baik, yaitu mencintai sesama makhluk tuhan terlebih monyet merupakan hewan yang dilindungi. Memang tidak seharusnya para tukang topeng monyet mempertontonkan atraksi topeng monyet di pinggir jalan, sebab hal tersebut dapat menghambat lalu lintas di ibu kota yang seringkali macet. Mungkin saja dengan kehadiran topeng monyet, lalu lintas semakin tidak terkendali sehingga kemacetan semakin meningkat. Namun akan lebih baik lagi apabila sesama pengguna jalan lebih tertib menggunakan jalan umum dan lebih mematuhi rambu lalu lintas.

Mengenai anggapan bahwa dalam pelatihan topeng monyet ada unsur penyiksaan binatang, mungkin lebih arif apabila para tukang topeng monyet mendapatkan ilmu atau pengetahuan mengenai cara melatih hewan dengan teknik yang baik dan dinilai tidak menyiksa dari pawang-pawang binatang yang sudah ahli. Sebab, mau tidak mau pemerintah tidak bisa begitu saja di paksa untuk menghentikan topeng monyet atau membuat larangan topeng monyet.

Topeng monyet yang sudah dikenal luas oleh masyarakat kita ini merupakan salah satu bentuk mata pencaharian bagi sebagian orang di Indonesia. mereka mungkin tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang tukang topeng monyet. Dalam sehari penghasilannya saja tidak tetap, jangankan untuk bermewah-mewah, untuk makan sehari-hari saja belum pasti. Terlebih biasanya monyet-monyet yang digunakan para tukang topeng monyet adalah monyet sewaan, jadi mereka juga harus menyetor uang yang mereka peroleh kepada pemilik monyet.

Manusia mana yang ingin hidup serba kekurangan, begitu pula para tukang topeng monyet. Keadaan yang menuntut mereka jadi tukang topeng monyet. Jika topeng monyet dilarang, mereka mau kerja apalagi? bukankah di Indonesia ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? jangankan layak, yang tidak layak asal halal saja masih susah. Inilah potret antara kemiskinan dan topeng monyet. Mari kita sadari ini dan beri solusi bersama dalam membangun negeri.

ANAK JALANAN DAN PENDIDIKAN


ANAK SEKECIL ITU BERKELAHI DENGAN WAKTU ...
DEMI SUATU TUJUAN YANG KERAP GANGGU TIDUR MU ...
ANAK SEKECIL ITU TAK SEMPAT NIKMATI WAKTU ...

DI PAKSA PECAHKAN KARANG LEMAH JARI MU TERKEPANG . . .


Kutipan singkat lagu dari Iwan Fals diatas di rasa tepat menggambarkan Potret Kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini. Masalah-masalah sosial terus bermunculan menambah “PR” sekaligus cambuk bagi negeri ini untuk kembali bercermin sebagai bangsa yang besar. Bangsa yang seolah bisu melihat anak-anaknya hidup di bawah garis kemiskinan. Anak seumur mereka yang seharusnya mengenyam pendidikan, tetapi harus hidup di tempat yang tidak seharusnya mereka berada. Apakah hanya milik mereka yang punya uang saja, sementara mereka yang mempunyai hak-hak yang sama tempat mereka di sana di pinggir dan di trotoar-trotoar jalanan? Di mana fungsi dan kewajiban negara? Sebagaimana di amanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 31 tentang Pendidikan dan Pada Bab XIV Tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 34. “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan - Fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara”. Sudahkah negara menjamin sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan?

Para elit-elit bangsa ini terlalu sibuk, sibuk akan korupsi, sibuk mengejar kedudukan dan jabatan, sampai mereka lupa akan Tugas dan Kewajiban mereka dalam Peranan sosial dan Pendidikan. Suatu bangsa akan besar apabila sadar akan nilai penting dari pendidikan yang mencerdaskan bangsa, yang sudah tentu secara tidak langsung  akan meningkatkan kualitas hidup warga masyarakatnya sendiri.

Nilai Tinggi dari kualitas pendidikan nantinya akan menentukan arah peradaban bangsa. Maju atau tidaknya suatu bangsa dilihat juga dari kualitas pendidikannya. Sampai kapan Bangsa ini mau di samakan sebagai bangsa yang “Terbelakang”?.

Bangsa-bangsa lain sibuk dan berlomba-lomba untuk maju mengejar peradaban, tetapi bangsa ini seakan berdiam diri  hidup seperti di zaman Batu. Saatnya bangsa ini bangkit, saatnya bangsa ini menghargai pendidikan. Pendidikan sebagai jawaban, pendidikan untuk peradaban. Maju terus pendidikan Indonesia.

Rabu, 25 April 2012

GENG MOTOR DAN HILANGNYA RASA AMAN


Publik Jakarta tersentak tatkala geng motor mengamuk. Mereka menebar teror pada dini hari tanpa ada satu pun aparat keamanan muncul untuk mengatasinya. Kenapa publik tersentak? bukankah selama ini geng motor sudah menebar teror di mana-mana? Selama ini publik Jakarta memang abai terhadap keberadaan geng motor. Mereka juga lupa bahwa teror yang ditebar geng motor sudah begitu mengkhawatirkan. Bayangkan saja, pada 2009 ada 68 orang tewas di arena balapan liar, tempat geng motor berkumpul. Pada 2010 ada 62 orang tewas dan 2011 ada 65 tewas. 

Korban tewas umumnya akibat kecelakaan dalam balapan liar, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Pada April ini saja ada dua korban tewas setelah dikeroyok geng motor. Satu di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan dan satu lagi anggota TNI AL yang dikeroyok di Kemayoran, Jakarta Pusat. Saat itu tak ada publik Jakarta yang peduli. Para pejabat di negeri ini pun seperti cuek bebek menyikapi teror yang ditebar geng motor tersebut. 

Tapi tatkala geng motor mengamuk pada Jumat dini hari, publik Jakarta langsung terbeliak. Menko Polhukam bahkan angkat bicara. Fenomena ini menunjukkan bahwa geng motor Jumat dini hari itu adalah geng motor yang luar biasa sehingga begitu mendapat perhatian yang luar biasa pula dari publik dan para pejabat negara. Perhatian yang luar biasa ini dapat dipahami sebab aksi mereka memang luar biasa, mulai dari Jakarta Utara hingga Jakarta Pusat. 

Mereka bisa mengamuk selama tiga jam di ibu kota negara tanpa diketahui dan dicegah aparat keamanan. Mereka bisa bebas melempari kantor polisi, menganiaya sejumlah orang,menusuk anggota masyarakat hingga tewas, dan melakukan penyerangan di delapan lokasi. Bayangkan, jika geng motor ini merupakan pasukan teroris, akan jadi apa Jakarta pada Jumat dini hari. 

Dua Fenomena 

Dari peristiwa Jumat dini hari itu ada dua fenomena yang patut dicermati. Pertama, benarkah mereka anggota geng motor? Dari tipikalnya sulit dipercaya bahwa mereka adalah anggota geng motor. Melihat ulahnya, kita jadi teringat kerusuhan Mei 1998 di mana saat itu ada ratusan orang yang berkonvoi dan melakukan penyerangan terhadap toko-toko di Jakarta hingga berhasil memprovokasi warga sekitar untuk menciptakan kerusuhan massal maupun penjarahan. 

Dengan latar belakang ini, kita patut bertanya,adakah aksi penyerangan ini berkaitan dengan baru disahkannya RUU Pengaman Konflik Sosial (PKS) oleh DPR? Bisakah aksi Jumat dini hari itu dinilai sebagai momentum untuk “uji coba” terhadap keampuhan RUU PKS? Sebab pola penyerangan mereka berbeda dengan aksi pengeroyokan yang biasanya dilakukan geng motor di Jakarta. 

Selama ini pola yang dipakai geng motor di Jakarta hanya melakukan pengeroyokan di satu tempat tertentu, di arena balapan liar. Sementara pola penyerangan geng motor Jumat dini hari itu menyebar konflik ke delapan tempat di Jakarta Utara dan pusat serta memukuli orang-orang yang berkumpul. Sepertinya hendak memprovokasi kemarahan warga sekitar dan memicu konflik sosial yang lebih luas. 

Kedua, aksi Jumat dini hari menimbulkan fenomena baru yakni munculnya geng motor kagetan. Artinya, brutalisme geng motor di Jakarta mulai dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Dengan aksi brutalisme yang dilakukan geng motor, kelompok-kelompok tertentu tersebut dalam menjalankan misinya bisa berlindung di balik atas nama dendam, solidaritas korps, dan krisis kepercayaan pada polisi yang memang kurang serius dalam menuntaskan kasus-kasus di seputar geng motor. 

Pembiaran 

Pembiaran terhadap geng motor terlihat nyata dari sikap polisi yang membiarkan arena balapan liar berkembang pesat di Jakarta. Padahal arena balapan liar adalah tempat komunitas geng motor berkumpul. Kehadiran geng motor di Jakarta berbeda dengan keberadaan geng motor di kota lain. Di Bandung misalnya geng motor muncul dari kelompok-kelompok touring sepeda motor. Sedangkan di Jakarta, geng motor muncul dari arena balapan liar.

Pada 2009 di wilayah hukum Polda Metro Jaya ada 20 lokasi balapan liar. Kini pada 2012 ada 80 lokasi. Akibat pembiaran yang dilakukan polisi arena balapan liar menyebar ke wilayah pinggiran Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Balapan liar yang mereka lakukan kerap mengancam keselamatan masyarakat pengguna lalu lintas. Apalagi mereka memiliki lima lokasi favorit yang menantang yakni Warung Buncit dengan tikungan tajam, turunan, dan tanjakan. 

Rawapanjang Bekasi jalur lurus yang penuh truk dan kontainer. Kemayoran jalur panjang dan rata. Klender jalur sempit dan gelap. Asia Afrika jalur pendek dan ada tikungan tajam di bundaran.Pondok Indah jalur bergengsi. Tak jarang anak muda dengan usia 14 hingga 22 tahun di lokasi balapan liar ini terkapar di dalam got, nyangkut di pagar atau masuk ke kolong truk. Meski demikian, tak ada kata jera bagi anggota geng motor. Bisa jadi,hal ini karena ada adu gengsi uji nyali dan sekaligus bursa taruhan yang menggiurkan. Di lokasi-lokasi balapan liar taruhannya cukup mengejutkan yakni antara satu juta hingga lima juta untuk satu track.

Tindakan Konkret 

Berbagai fenomena yang muncul di seputar arena balapan liar dan geng motor tampak harus segera dicermati jajaran kepolisian untuk kemudian diambil tindakan konkret. Dalam hal ini Polda Metro Jaya perlu memaksimalkan peranan polsek dan polres untuk memberantas geng motor dan balapan liar ini. 

Selain melakukan tindakan tegas, polsek dan polres lewat aparat Babinkamtibmas serta Polmasnya perlu melakukan pendekatan kepada orang tua yang anaknya terlibat dalam balapan liar dan geng motor agar ikut mengawasi maupun mengendalikan kebrutalan anak-anak mereka. Kini sejak Jumat malam polisi bekerja sama dengan TNI aktif melakukan patroli. Publik tentu berharap patroli pemberantasan geng motor dan balapan liar yang dilakukan aparat keamanan di Jakarta sekarang ini jangan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. 

Sabtu, 14 April 2012

KISAH SEORANG KAKEK: KEJUJURAN HIDUP


Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. 

Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa.

Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: 

“Bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu. 

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Saudaraku, "Di antara sekian jenis kemiskinan", kata KH. Rahmat Abdullah, "yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam". Walaupun kondisi fisiknya tak sempurna, walaupun pendidikannya rendah, walaupun usianya tak lagi muda.. Izzah (kehormatan) dirinya dalam bekerja mencari penghasilan yang halal harus kita hargai daripada yang meminta-minta. Walaupun tidak salah apabila kita memberikan sedekah kepada siapapun yang kita lihat ketika beliau orang-orang tersebut membutuhkan uluran pertolongan kita. Semoga menginspirasi kebaikan. (F.N. Al-Fatih)

Minggu, 01 April 2012

MASIH ADAKAH BUDAYA MALU?

Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga
Negeriku, ngeriku

Itulah salah satu potongan lirik lagu "Negeriku" yang dikumandangkan oleh Iwan Fals membuat saya yang tengah membaca berbagai berita tentang kenaikan BBM, korupsi, kolusi, selingkuh dan narkoba, seakan tersadarkan. Ini dia kata kunci yang sedang saya cari. Malu!

Ya, seharusnya saya tidak melupakan bahwa budaya malu itu dulu begitu melekat dalam diri dan menjadi ciri khas bangsa ini, berdampingan dengan sifat ramah. Tapi ada yang berkilah, masa lalu toh sudah lewat. Kini kita hidup di era modern yang serba instan dan pragmatis. Hal ini konon membuat nilai-nilai dan norma yang melekat dalam diri anak bangsa secara perlahan mulai tergerus oleh zaman.

Media cetak dan media elektronik setiap hari me­nyuguhkan aneka berita yang membuat kita terheran-heran, yang sulit diterima akal sehat. Anda boleh terpana dan geleng-geleng kepala melihat betapa tokoh-tokoh politik, selebritas dan bahkan tokoh agama diberitakan terlibat kasus semisal korupsi, kolusi, nar­koba, ricuh saat sidang paripurna, dan bahkan tindakan asusila. Keheranan kita semakin menjadi-jadi ketika menyak­sikan bahwa para pelakunya ternyata masih mampu berha­dapan dengan publik tanpa rasa bersalah dan sama sekali tidak menyiratkan rasa malu.

Yang tampak kasat mata belakangan ini adalah perilaku sejumlah tokoh politik dan pemerintah yang ucapannya bertolak belakang dengan kenyataan, aparat penegak hukum yang justru menabrak rambu-rambu hukum serta debat kusir antara sesama mereka. Kelompok masyarakat pun tidak mau kalah. Alih-alih mematuhi aturan hukum, mereka lebih memilih amuk massa sebagai solusi penyaluran aspirasi. Negeri pun jadi gon­jang-ganjing sementara pe­mimpin negeri ini biasanya selalu terlambat dalam me­nyikapinya.

Dewasa ini uang telah menjadi raja dalam arti yang sesungguhnya. Uang terbukti efektif sebagai pemersatu kelompok-kelompok yang tadinya berseberangan. Inilah potret negeri yang kebablasan, seperti sindiran Iwan Fals dalam lagunya sebagai negeri para penipu yang tidak punya rasa malu.

Sebagian kita boleh saja menyalahkan zaman, menuding modernisasi sebagai biang keladi perubahan budaya anak bangsa. Tapi asumsi ini mudah dibantah karena negara lain yang jauh lebih modern dari kita seperti Jepang dan Korea ternyata masih memegang teguh budaya malu itu.

Di sana, seorang pemimpin yang gagal menjalankan tugas atau melakukan kesalahan fatal, termasuk korupsi dan berbuat asusila, yang ber­sangkutan biasanya akan me­ngundurkan diri dari kursinya. Da­lam kasus yang ekstrem, ada yang bahkan sampai memilih bu­nuh diri saking tak tahan me­nanggung malu. Memang yang terakhir ini tidak patut kita tiru karena agama Samawi melarang keras tindakan bunuh diri. Namun andaikata agama tidak mengharamkan bunuh diri, saya hampir 100% yakin bahwa pemimpin kita yang berbuat salah atau terbukti menyeleweng tidak akan bunuh diri. Soalnya rasa malu itu sudah lama kita tinggalkan.

Sabtu, 31 Maret 2012

KAMPUNG NAGA: KHAZANAH BANGSA INDONESIA

Kampung Naga adalah salah satu kampung adat dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa barat dan secara konsisten masih tetap melestarikan kebudayaan dan adat leluhurnya. Kampung Naga sendiri terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan antara daerah Garut dengan Tasikmalaya dan berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sendiri sekitar 30 km. Untuk mencapai Kampung Naga yang penduduknya memeluk agama Islam ini harus melalui medan jalan yang lumayan terjal yakni harus menuruni anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.
Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk kampung ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Uniknya lagi, karena areal Kampung Naga yang terbatas hingga tak memungkinkannya lagi mendirikan rumah di kampung itu, banyak penduduk Kampung Naga pada akhirnya menyebar ke berbagai penjuru daerah seperti ke Ciamis dan bahkan Cirebon tapi penduduk yang tak lagi berdiam di Kampung Naga ini tetap saja masih menjunjung tinggi warisan adat budaya leluhurnya. Jika pada hari-hari tertentu Kampung Naga akan diselenggarakan misalnya adat dan upacara sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga maka penduduk yang tak lagi tinggal di kampung ini pun akan menyempatkan hadir demi ikut berpartisipasi dalam perayaan atau upacara adat tersebut.
Nenek moyang Kampung Naga sendiri konon adalah Eyang Singaparana yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan disebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap keramat dan selalu diziarahi oleh keturunannya yakni warga Kampung Naga pada saat mereka akan melaksanakan upacara-upacara adat atau yang lainnya. Kepatuhan warga Kampung Naga sendiri dengan tetap menyambangi makam leluhurnya ini sekaligus mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adat leluhurnya seperti dalam hal religi dan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan sampai kepada peralatan hidup (alat-alat rumah tangga, pertanian dan transfortasi) dan sebagainya dengan dasar karena mereka begitu menghormati budaya dan tata cara leluhurnya. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga
Disamping gaya hidup dan pola kebersamaan mereka yang tak kalah unik dari Kampung Naga adalah struktur bangunan tempat tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari bentuk bangunan yang berbeda dari bangunan pada umumnya termasuk letak, arah rumah hingga bahan-bahan yang membentuk rumah itu semuanya selaras dengan alam dan begitu khas. Dengan ketinggian kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan rumah yang satu lebih tinggi dari rumah yang lain dengan pembatas sangked-sangked batu yang disusun sedemikian rupa hingga membuat tanah yang di atas meski ada bangunannya tidak mudah longsor ke bawah dan menimpa rumah yang ada di bawahnya. Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar hidup yang begitu asri.
Dilihat dari bentuk perkampungannya, penduduk Kampung Naga sangat erat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari pola rumah yang saling berkelompok dan saling berhadap-hadapan dengan tanah lapang ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan hingga jika dilihat dari ketinggian akan terlihat begitu indah dan mengingatkan kita pada atap-atap rumah di Tiongkok jaman kungfu dulu. Di bagian sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit
Lebih jauh, menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga kita akan mendapatkan keselarasan antar dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh penduduk Kampung Naga disebut sebagai Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Kampung Naga. Pola kepemimpinan seperti ini mengingatkan saya pada pola kepemimpinan ulama dan umarah. Sang kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adat istiadat jika berhubungan dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RK, pun sebaliknya, Pak RT dan Pak RK pun mesti taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan kerohanian.
Beralih ke sistem kesenian Kampung Naga, kita akan bersitatap dengan berbagai kesenian tradisional yang tetap dilestarikan keasliannya yang antara lain seperti kesenian terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian-kesenian ini biasanya akan ditampilkan bilamana warga Kampung Naga sedang melaksanakan berbagai upacara-upacara adat seperti upacara sasih, upacara berziarah ke kubur keramat nenek moyang dan upacara yang berhubungan dengan bulan-bulan suci atau agung dalam Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dan sebagainya. Meski begitu, kesenian ini pun kerap kali dipentaskan tidak hanya untuk mengiringi upacara-upacara adat tapi juga pada saat hajatan perkawinan dan khitanan sebagi sarana hiburan sekaligus penyemarak pesta.

BANGSA YANG MENYALAHKAN PENDIDIKAN

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, Pendidikan diartikan sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Di bagian terakhir, kita mendapati suatu klausul penting, yakni, “yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” Maka, pendidikan secara luhur dapat kita maknai sebagai salah satu instrumen pembangun masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh sebab itu, kita selalu mendapati bangsa-bangsa yang maju saat ini adalah bangsa yang selalu menghargai pendidikan.
Semisal Jepang, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, yang pertama kali dibenahi oleh Kaisar Jepang kala itu adalah pendidikan. Atau Malaysia yang ketika awal kemerdekaannya banyak ‘mengimpor’ guru dari Indonesia. Kini, keduanya menjadi Negara yang cukup maju.
Namun, permasalahan yang terjadi di negeri ini adalah kurangnya penghargaan bangsa ini terhadap pendidikan, bahkan seringkali pendidikan dikambinghitamkan dari suatu permasalahan yang ada.
Mungkin sering kita dengar mengenai kelulusan siswa-siswi dalam Ujian Nasional yang dipenuhi dengan kecurangan di sana-sini. Lalu, jika ada yang ketahuan, maka Pemerintah mencelanya sebagai sebuah cela dari pendidikan. Padahal, Pemerintah sendiri tak paham bagaimana Ujian Nasional yang menjadi standarisasi kelulusan peserta didik memiliki berbagai kelemahan.
Lalu, kita juga ingat ketika para media massa menyoroti tawuran yang merebak di kalangan pelajar, dan salah satu wartawan media massa kala itu menjadi sasaran kekerasan dari pelajar karena terus menyoroti sekolah mereka. Waktu itu, media massa seolah sepakat membuat hal ini menjadi sebuah bagian dari proses pendidikan yang salah pada bangsa ini. Seolah pendidikan adalah mesin yang mencetak produk gagal yaitu kekerasan dalam bentuk tawuran, bulliying dan lain sebagainya.
Padahal, media massa tersebut tak paham, bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan dari pelajar adalah karena seringnya media massa menampilkan berbagai perilaku kekerasan.
Kemudian, ada juga kisah para mahasiswa yang sering berdemo dan terkadang sering menimbulkan jalanan macet atau bahkan anarkisme. Sebagian dari bangsa ini menilai pendidikan yang didapat para mahasiswa itu menghasilkan para mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis yang berujung pada anarkisme tersebut. Padahal, sejatinya, bangsa ini lah yang jarang sekali mau member ruang untuk pemikiran kritis mereka dan menindaklanjuti pemikiran kritis mereka yang baik.
Saat merebaknya isu terorisme di kalangan pelajar dan mahasiswa, kembali, pendidikan keagamaan dipersalahkan karena tidak mampu membendung perilaku tersebut. Padahal, pendidikan keagamaan tersebut hanya berlangsung kurang lebih dua jam dalam sepekan di sekolah atau sekitar dua sks bagi para mahasiswa. Dengan teknis pengajaran yang hanya menjadikan itu sebagai sebuah pengetahuan yang nantinya akan dinilai tanpa memperhatikan kepribadian peserta didiknya.
Akhir-akhir ini pun, pendidikan lagi-lagi disalahkan. Merebaknya berbagai pengungkapan kasus tindak pidana korupsi juga ikut-ikutan menyalahkan pendidikan sebagai salah satu biang keladi dari permasalahan korupsi yang terjadi di negeri ini. Beberapa tersangka kasus korupsi yang merupakan lulusan yang sama dari sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan juga dikait-kaitkan dengan almamaternya dahulu.
Banyak yang menuduh bahwa Perguruan Tinggi tersebut ikut serta menjadikan para tersangka menjadi koruptor. Pendidikan di Perguruan Tinggi tersebut disalahkan karena beberapa lulusannya menjadi tersangka korupsi. Padahal, jumlah lulusan yang menjadi tersangka tak sebanding dengan lulusannya yang ada puluhan ribu. Lalu, tanpa mengetahui apa yang diajarkan di Perguruan Tinggi tersebut, banyak yang pada akhirnya merasa tahu bahwa pendidikan yang diajarkan di Perguruan Tinggi tersebut adalah pendidikan untuk para koruptor. Sungguh, pemikiran yang tak jernih.
Rasanya, bangsa ini sampai saat ini belum dewasa dalam menghargai pendidikan. Bagaimana mungkin bangsa ini akan maju kalau bangsa ini terus-terusan menyalahkan pendidikan dari berbagai permasalahan yang ada. Padahal harusnya pendidikan lah yang menyelesaikan berbagai permasalah yang terjadi di bangsa ini.
Lalu, jangan jadikan carut-marut bangsa ini menjadi alasan untuk tidak bepikir jernih dan terus-menerus menyalahkan pendidikan. Kini saatnya kita membenahi pendidikan kita jika memang ada yang salah, bukan dengan mencela dan menghinanya. Seolah pendidikan kita adalah barang yang hina. Karena justru hal itulah yang akan menghinakan bangsa ini. Saatnya bangsa ini dewasa dalam menghargai pendidikan mereka.

Kamis, 29 Maret 2012

PERAN SOSIOLOGI DALAM PEMBANGUNAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA

Mengikuti perkembangan dunia secara global peran serta setiap disiplin ilmu untuk turut andil dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat secara keseluruhan haruslah lebih mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik dan berdasarkan fakta-fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia.
Peranan ilmu sosiologi dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat tentunya sangat penting dilihat dari segi pengertian dari sosiologi itu sendiri. dimana fakta-fakta sosial dapat dikumpulkan dengan pemahaman dan juga menguasai ilmu-ilmu pada cabang ilmu sosial. Adapun suatu pengertian dasar dari ilmu tersebut.
Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari masyarakt dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sebagai cabang ilmu, sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte. Comte kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Emile Durkheim seorang ilmuwan perancis yang kemudian berhasil melembagakan sosiologi sebagai disiplin akademis. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yag tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Dalam buku August Comte yang pertama kalinya berjudul “Cours De Philosophie Positive” pada tahun (1798-1875), terdapat tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan tahap sebelumnya.Tiga tahapan itu adalah :
1.Tahap teologis, adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.Tahap metafisis, pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena itu adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realits tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.Tahap positif, merupakan tahap dimana manusia mulai berfikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian terhadap perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.

Guna pembangunan kualitas sumber daya masyarakat untuk meningkatkan produktifitas sumber daya masyarakat itu sendiri diperlukan beberapa pendekatan untuk perkembangan dan peningkatan kualitas mutu sumber daya masyarakat secara menyeluruh. Adapun beberberapa pendekatan yang telah diuraikan oleh para ilmuwan eropa yang merupakan kesimpulan yang di ambil dari tiga tahapan yang dirintis oleh Comte pada bukunya. 
v  Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Pendekatan seperti ini dapat diterapkan dalam meningkatkan kualitas masyarakat untuk saling berkerja sama dalam kehidupan berorganisasi. 
v  Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang mengaanggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan pendekatan seperti dapat dijadikan suatu strategi untuk menjadikan motivasi terhadap masyarakat untuk bersaing dan perbedaan status sosial menjadi suatu pemicu semangat terhadap perkembangan kualitas pribadi. 
v  Emile durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelurusi fingsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Pendekatan yang dikenalkan oleh emile durkheim dapat menjadi pembatas dan menciptakan keteraturan dalam hidup bermasayarakat dengan sistem yang teratur dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat.
v  Max weber memperkenalkan pendekatan verstehen(pemahaman) yang berupaya menelusri nilai, kepercayaan, tujuan dan sikap menjadi penuntun perilaku manusia. Dengan pendekatan ini jelas bahwa nilai, kepercayaan dan sikap masyarakat akan menenentukan kualitas sumber daya masyarakat maka dari itu diperlukan suatu upaya untuk membatasinya agar tetap didalam batas normal.
Dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat indonesia tentunya tidak luput dari fakta sosial, tindakan sosial, Khayalan sosilogis, dan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat indonesia secara umum ataupun khusus untuk membuat suatu pemecahan terhadap hal-hal yang dapat menurunkan kualitas sumber daya masyarakat. Perubahan masyarakat dapat dipelajari muali dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasrkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.
Dengan adanya suatu research mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang terjadi dimasyarakat melalui pendekatan-pendekatan sosial maka akan terlihat perubahan pada masyarakat secara keseluruhan guna mengetahui aspek-aspek sosiologis pada masyarakat akan bisa menjadi suatu pemecahan terhadap penghambat pembangunan kualitas sumber daya masyarakat indonesia.
Maka dari itu untuk melakukan researh terhadap fakta-fakta sosial di butuhkan pemahaman terhadap ilmu sosiologi guna meningkatkan pembangunan kualitas masyarakat indonesia.

IDOLA TURUNAN VS IDOLA UTAMA

Demam K-Pop mewabah di seantero dunia, termasuk Indonesia. Jutaan remaja putri, bahkan putra, menggilainya dan menghabiskan sebagian besar waktu serta ruang pikirnya untuk mengikuti perkembangan terbaru dari arus kebudayaan pop korea tersebut. Mulai dari menonton drama di TV dan DVD, mendownload lagu boyband dan girlband di internet, mengikuti gaya berpakaiannya, hingga (yang sedikit lebih intelek) membaca buku tentang artis idola mereka. Dari keseluruhan arus itu, para remaja (khususnya remaja putri) biasanya memilih satu atau lebih artis yang mereka paling ikuti perkembangannya. Kita biasanya menyebutnya sebagai idola.
Jauh sebelum itu, para remaja putra sudah terlebih dahulu menjadikan atlet sebagai idola, khususnya atlet sepakbola. Mereka adalah sosok yang biasanya mengisi tembok kamar, tontonan malam yang membuat begadang, bahan utama dalam obrolan, situs pertama yang dibuka saat online, hingga minat utama yang mengisi lebih dari separuh ruang pikir. Ya! Bagi para remaja itu mereka adalah idola. Meskipun ketika ditanya apa saja yang dapat mereka ambil dari idola mereka tersebut? Mungkin tak banyak jawaban yang akan hadir. Bahkan mungkin, jawabannya begitu simpel: hanya sekadar suka saja. Tak lebih.
Industri Para Idola
Arus modernitas yang berasal dari barat itu membawa banyak hal. Salah satunya adalah industrialisasi. Sebuh proses produksi dengan prinsip efisiensi yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini membuat jumlah produksi semakin banyak dengan jangka waktu yang semakin cepat. Industrialisasi ini menyebar ke berbagai sektor kehidupan, termasuk di sektor-sektor yang banyak memproduksi para idola, seperti seni dan olahraga. Istilah memproduksi saya gunakan karena para idola itu sebenarnya tidak bisa menjadi idola tanpa adanya dukungan lingkungan terhadapnya. Dahulu kala, bentuk dukungan itu disampaikan secara konvensional lewat lisan dan tulisan. Namun kini, dengan bantuan media massa yang audio-visual, ruang untuk menjadi idola itu pun semakin terbuka terbuka. Siapa saja bisa menjadi idola, tentunya dengan kriteria yang ditetapkan oleh produsen para idola. Produsen itu tentu saja para pemilik modal. Mereka yang sebenarnya menjadikan para idola ini sebagai salah satu komoditas bisnis mereka dan agen promosi kriteria modern seorang idola.
Artinya, selain mendapat keuntungan, mereka pun, secara langsung maupun tidak, mempromosikan kepada masyarakat umum yang di Indonesia mayoritasnya muslim bahwa begini loh sebenarnya yang disebut idola. Mereka harus berpenampilan menarik (baca: memamerkan aurat), pandai berbicara di depan umum (walau seringkali pembicaraannya tak bermutu), jago bermain sepakbola (walau berzina adalah kesehariannya). Masyarakat kita dipaksa untuk mengidolai sosok yang sebenarnya hanya sedikit dari karakter dirinya yang pantas untuk ditiru.
Benarkah Kita Mengidolakan Rasulullah saw?
Meskipun industri para idola terus melaju, tak sedikit pihak yang melakukan perlawanan atas arus tersebut. Artinya, tidak semua orang mau begitu saja menerima apa yang disuguhkan oleh media massa dan perangkat-perangkat pendukung industri idola lainnya. Salah satu pihak yang melakukan perlawanan tersebut adalah kalangan santri, khususnya di perkotaan yang merasakan arus ini lebih deras dibanding di pedesaan. Masalahnya, santri perkotaan ini biasanya adalah remaja-remaja yang baru saja tercelup oleh nilai-nilai Islam. Mereka hanya mendapatkan pemahaman Islam lewat halaqoh pekanan, kajian-kajian keilmuan, maupun bacaan dari buku maupun internet. Yang baru tumbuh dengan baik adalah komitmen mereka untuk terus mempelajari Islam sambil mempraktekkan dan mendakwahkannya secara bertahap.
Masalah ini berdampak pada keber-Islam-an mereka yang biasanya masih bersifat simbolik. Salah satu bentuknya adalah ketika mereka ditanyakan siapa idola mereka, misalnya dalam acara perkenalan maupun dalam biodata mereka. Biasanya mereka akan mengatakan maupun menuliskan: Rasulullah saw, nabi terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Syariat-Nya di dunia dan memang diakui sebagai manusia terbaik, bahkan oleh kalangan non-muslim seperti Michael Hart. Akan tetapi, ketika coba ditanya. Sudahkah membaca sirah nabawiyah? Seberapa seringkah membaca dan mengkaji hadis beliau? Berapakah sunnah beliau yang sudah dipraktekkan? Sebelum mendengar jawabannya, bersiaplah untuk kecewa.
Bahkan mungkin saja, mereka yang mengaku anak rohis atau aktivis dakwah itu pun juga mengidolakan artis korea atau atlet sepakbola. Meski mereka tidak mengakuinya, tetapi jika ternyata ruang pikir mereka lebih banyak untuk itu, apa mau dikata, fakta yang berbicara. Agak miris ketika ada yang mengaku mengidolakan Rasulullah saw, tetapi lebih mudah terbangun di malam hari karena pertandingan Barcelona vs Real Madrid, daripada karena ingin sholat malam.
Jebakan Penghambaan Idola
Salah satu jebakan yang harus diwaspadai dalam relasi antara idola dan penggemar adalah jebakan penghambaan. Istilah penghambaan mungkin terdengar agak berlebihan bagi sebagian orang, tetapi jika para penggemar telah sampai pada tahap mau melakukan apa saja demi idola mereka hingga melewati logika rasional dan koridor Syariat Islam, di sanalah letak jebakan penghambaan itu. Prinsip asasi pertama dalam ajaran Islam adalah agar setiap manusia hanya menghambakan dirinya pada Allah SWT saja.
Lalu bagaimana agar kita terhindar dari jebakan penghambaan kepada selain Allah SWT? Itulah mengapa ada prinsip asasi kedua, yakni agar setiap manusia mengikuti tata cara penghambaan kepada Allah SWT dari Rasulullah saw. Manusia terbaik yang ma’sum atau dijamin pasti benar semua perkataan dan perbuatannya. Hal ini membuat beliau adalah satu-satunya manusia yang paling aman untuk dijadikan idola. Karena tidak ada satu pun bagian dari karakter dirinya yang mengandung jebakan untuk pengambaan lain selain Allah SWT. Semuanya baik, semuanya benar. Adakah yang lebih aman dan lebih pantas untuk diidolakan selain beliau.
Namun, yang perlu digarisbawahi, kedua prinsip asasi tersebut fungsinya adalah sebagai landasan dan koridor. Jadi, kedua prinsip asasi ini sebenarnya tidak melarang kita untuk mengidolakan sosok lain. Asal kriteria idola kita tersebut adalah sosok yang cukup aman dan patut ditiru, serta tidak keluar dari koridor syariat. Tentu saja, hal ini membawa konsekuensi bahwa pengidolaan kita terhadap sosok lain haruslah merupakan turunan atas pengidolaan kita terhadap Rasulullah saw.
Maka pertanyaan reflektifnya begini: Siapa yang seharusnya lebih banyak mengisi ruang pikir kita? Menjadi acuan bertindak kita? Menjadi minat utama dan obrolan keseharian kita? Idola Turunan atau Idola Utama?

CITA-CITA MULIA

Sukses sebagai proses menuju cita-cita mulia mensyaratkan pentingnya kita memiliki cita-cita mulia terlebih dahulu. Sebab tanpa cita-cita mulia tak ada perjalanan menuju cita-cita mulia. Lalu masalahnya, seperti apa cita-cita mulia itu? Apa saja kriteria cita-cita yang mulia?
Kemuliaan bukanlah berdasarkan perasaan subyektif manusia, tapi ia diukur berdasarkan kebenaran universal yang ada di dunia ini. Kebenaran universal adalah satu-satunya kebenaran yang sejati di dunia ini. Ia adalah kebenaran yang bersumber pada empat hal, yaitu : agama, hati nurani, akal sehat dan ilmu pengetahuan. Kesesuaian antara empat hal itulah yang disebut kebenaran universal. Jika keempat hal tersebut saling bertolak belakang maka agama menjadi batu uji terakhir untuk menentukan kebenaran universal. Nilai-nilai seperti persamaan, kemerdekaan, kejujuran, kesetiaan, kasih sayang, keindahan, ketenteraman, keadilan dan keterbukaan adalah contoh dari kebenaran universal yang sesuai dengan hati nurani, agama, akal sehat dan ilmu pengetahuan.
Kebenaran universal bukanlah berdasarkan budaya masyarakat atau perasaan seseorang. Budaya dan perasaan bersifat subyektif, nisbi bahkan seringkali tak dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Kita tak dapat berpegang pada kebenaran berdasarkan budaya dan perasaan sebab hal itu dapat menjerumuskan kita pada perbedaan dan perselisihan tanpa henti. Kebenaran universal yang dapat menyatukan kita pada cita-cita yang sama. Ia merupakan ikatan yang menyatukan peradaban manusia selama-lamanya.
Sukses Anda tergantung dari keserasian cita-cita Anda dengan kebenaran universal. Selama cita-cita Anda tidak bertentangan dengan kebenaran universal, maka hal itu bisa disebut sebagai cita-cita yang mulia. Namun jika cita-cita yang Anda canangkan bertentangan dengan kebenaran universal; atau Anda sekedar menuruti hawa nafsu dan budaya setempat dalam membuat cita-cita Anda, berarti cita-cita Anda bukanlah cita-cita mulia. Jadi kata kuncinya terletak dari sejauh mana keserasian antara cita-cita Anda dengan kebenaran universal.
Jika ingin diteliti lebih lanjut, cita-cita mulia adalah cita-cita yang sesuai dengan kriteria berikut :
1.      Tidak merugikan diri sendiri
Cita-cita mulia tidak boleh merugikan diri sendiri. Tidak boleh merusak empat dimensi yang berada pada diri manusia, yaitu akal, perasaan, hati nurani dan tubuh
manusia. Bukan merupakan cita-cita yang mulia jika Anda mengejar sebuah keinginan yang merusak keempat dimensi tersebut. Misalnya, bercita-cita untuk menjadi
penulis film cabul, bekerja di bisnis judi, atau menjadi stuntman (pemeran pengganti untuk adegan-adegan berbahaya). Namun tidak termasuk merusak diri sendiri
jika Anda mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa sekali pun, untuk memperoleh cita-cita mulia seperti yang dicontohkan para nabi dan para
pahlawan.
2.      Tidak merugikan keluarga
Cita-cita mulia juga tidak boleh mengorbankan keharmonisan keluarga. Misalnya, jangan gara-gara mengejar ambisi untuk menjadi hartawan atau politikus terkenal,
Anda kemudian sering meninggalkan keluarga, sehingga akhirnya keluarga menjadi berantakan dan tidak harmonis.
3.      Tidak merugikan masyarakat
Cita-cita mulia juga tidak boleh merugikan masyarakat, baik itu orang dekat yang kita kenal maupun orang jauh yang tidak kita kenal. Bercita-cita menjadi penyanyi
dengan goyangan sensual atau menjadi pengusaha judi merupakan cita-cita yang tidak mulia karena merugikan masyarakat.
4.      Tidak merugikan lingkungan alam
Bukan merupakan cita-cita mulia jika lingkungan alam rusak karena mengejar cita-cita tersebut. Merusak lingkungan alam dapat berupa merusak tumbuh-tumbuhan, menyakiti binatang, merusak ekosistem, atau membuat polusi dan limbah.
5.      Tidak merugikan generasi pelanjut 
Cita-cita mulia juga tidak boleh merugikan generasi pelanjut, seperti merusak masa depan anak-anak dan pemuda. Cita-cita menjadi games programer untuk mainan anak-anak yang tidak mendidik, menjadi penyalur film porno atau menjadi bandar narkoba adalah contoh jelas dari sebuah cita-cita yang tidak mulia karena merusak generasi pelanjut.

Jadi jika ingin sukses, Anda perlu memiliki cita-cita yang mulia terlebih dahulu. Contoh cita-cita mulia itu banyak sekali, seperti menjadi penulis novel, pengusaha garmen, dosen, guru, da’i, olahragawan, penyanyi, dan lain-lain, asalkan semua itu tidak bertentangan dengan kriteria di atas. Tanpa adanya cita-cita (tujuan) yang mulia tidak mungkin Anda memperoleh kesuksesan sejati. 

PROSES YANG KONSISTEN MENUJU CITA-CITA

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar…” (QS. 46 : 35)
Sukses juga berarti perjalanan menuju cita-cita mulia. Tidak peduli apakah Anda berhasil meraih cita-cita itu atau tidak. Selama Anda konsisten berada di jalan menuju cita-cita mulia berarti Anda telah sukses dalam pengertian sebenarnya.
Apakah Anda tahu kisah hidup Nabi Nuh, Nabi Ayub, Nabi Zakaria atau Nabi Isa? Mereka adalah sebagian dari nabi yang lebih banyak hidup menderita di dunia. Mereka dicerca, dikucilkan, ditimpa berbagai musibah dan kesulitan. Bahkan Nabi Zakaria tewas dibunuh oleh orang-orang yang membencinya. Apakah Anda berani mengatakan mereka sebagai orang yang gagal dalam hidup? Tentu tidak. Sebab jika mereka orang yang gagal, tidak mungkin Tuhan memuji dan mengangkat mereka sebagai Nabi. Predikat Nabi yang disandangkan kepada mereka sudah menunjukkan kesuksesan mereka dalam hidup.
Apa sebabnya Tuhan mengangkat mereka sebagai orang yang mulia dan sukses di dunia padahal riwayat hidup mereka lebih banyak berisi kesulitan dan penderitaan? Kuncinya terletak pada konsistensi mereka untuk berjalan menuju cita-cita mulia, walau berbagai hambatan dan cobaan menghadang perjalanan mereka.
Seluruh Nabi mempunyai cita-cita agar manusia kembali kepada Tuhan dan saling berkasih sayang satu sama lain. Cita-cita tersebut mereka perjuangkan dengan sungguh-sungguh sepanjang hidup. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan jiwa mereka untuk merealisir cita-cita tersebut. Tuhan memuji konsistensi mereka dalam memperjuangkan cita-cita yang mulia. Tuhan menghendaki agar mereka dijadikan contoh bagi manusia lainnya dalam memperoleh kesuksesan. Mereka adalah orang-orang sukses karena konsistensinya dalam memperjuangkan cita-cita yang mulia.
Ali Syari’ati pernah mengajukan pertanyaan : Menurut Anda apakah orang yang mati dibunuh karena membela seekor kuda yang disiksa majikannya dapat dikatakan sebagai orang yang mati sia-sia dan konyol? Syari’ati menjawab : Tidak! Orang tersebut justru mati sebagai pahlawan karena menentang tindakan sewenang-wenang (terhadap binatang). Ia menjadi orang sukses karena sungguh-sungguh membela kebenaran, walau terhadap binatang sekali pun.
Sukses sebagai proses yang konsisten menuju cita-cita mulia adalah jalan para pahlawan yang kita kagumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Jalan Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Tholib yang meninggal karena dibunuh. Jalan Imam Hambali dan Ibnu Taimiyah (yang dicerca dan dikucilkan penguasa). Jalan Sholahuddin Al Ayyubi dan Omar Mukhtar yang menghabiskan usianya untuk berperang melawan penjajah. Jalan Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb yang dibunuh penguasa. Juga jalan Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Jendral Soedirman dan masih banyak lagi nama lainnya yang hidupnya lebih banyak menderita karena memperjuangkan cita-cita mulia. Mereka adalah orang-orang besar yang dikagumi sepanjang sejarah. Orang mengakui kesuksesan hidup mereka karena konsistensinya memperjuangkan cita-cita mulia.
Jadi, jika Anda ingin sukses jadilah orang-orang yang konsisten memperjuangkan cita-cita mulia. Tak peduli apakah Anda berhasil mewujudkan cita-cita tersebut atau tidak, Anda tetap dikatakan sebagai orang yang sukses. Selama Anda terus berada dalam proses menuju cita-cita mulia berarti Anda tetap sukses, walau mungkin menghadapi kesulitan, penderitaan, cobaan dan bahaya dalam mewujudkan cita-cita itu. Milikilah keyakinan ini. Keyakinan yang juga dimiliki para nabi dan rasul, para pahlawan, dan orang-orang besar sepanjang sejarah manusia. Mereka yakin jalan hidup mereka adalah jalan kesuksesan dan mereka rela mengorbankan tenaga, pikiran, waktu dan nyawa mereka untuk memperolehnya. Dunia pun mengakui kesuksesan hidup mereka.
Sayangnya orang-orang sukses yang konsisten memperjuangkan cita-cita mulia semakin langka di zaman sekarang. Tergerus oleh pengertian sukses sebagai kekayaan, ketenaran dan jabatan yang tinggi. Justru orang yang rela mengorbankan harta dan nyawanya demi membela kebenaran sering dianggap sebagai orang yang konyol dan berpikiran sempit saat ini. Mereka dijauhi masyarakat karena dianggap sok pahlawan dan sok suci.Sebaliknya, orang-orang yang plin-plan dan tidak punya pendirian, bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan, ketenaran dan jabatan yang tinggi dianggap sebagai orang yang sukses. Inilah logika terbalik tentang kesuksesan. Jangan heran jika saat ini kita sulit menemukan para pahlawan yang sukses karena konsisten memperjuangkan cita-cita mulia.
Jika Anda memandang kesuksesan sebagai proses yang konsisten menuju cita-cita mulia, maka Anda akan lebih mudah memperoleh kesuksesan. Hari ini pun Anda bisa sukses jika mulai hari ini Anda bertekad memperjuangkan cita-cita mulia. Bahkan Anda telah memperoleh kesuksesan tanpa henti, walau hari ini Anda berada dalam kesulitan dan musibah, asalkan tetap konsisten memperjuangkan cita-cita mulia. Inilah salah satu rahasia kesuksesan yang mudah diraih jika Anda mau melakukannya.

KEKUATAN "MAN JADDA WAJADA"

“Man Jadda Wajada.” Ini bukan ramalan sihir ataupun rumus mantra pengasihan. Kalimat berbahasa Arab ini artinya kurang lebih adalah siapa yang bersungguh-sungguh maka dia pasti berhasil. Siapa pun yang menerapkan rumus tersebut, bisa dipastikan akan mencapai tujuannya dengan gemilang. Siapa pun di sini bisa saja orang kafir atau bahkan orang yang beriman. Rumus ini tidak pandang bulu dan tidak hanya diperuntukkan bagi orang mukmin saja.

Rumus Man Jadda Wajada ini selaras dengan Maha Pengasih-nya Allah yang memberi rezeki kepada semua makhluk tidak peduli ia kafir atau beriman. Ambil sebagai contoh Bill Gates. Meskipun kafir, tapi ia bersungguh-sungguh di bidang computer sehingga jadilah ia orang yang kaya raya dari bisnis computer sebagai penemu Microsoft. Lalu ada juga Hugh Hefner pendiri majalah porno Playboy, Madonna yang artis seronok, JK Rowling si pengarang Harry Potter, Oprah Winfrey si pembawa acara terkenal dan masih banyak lagi yang lainnya sukses karena mereka bersungguh-sungguh di bidangnya. 
Itu sebagian nama dari orang sukses di luar negeri. Dari dalam negeri mulai dari Inul dengan goyang ngebornya, Trio Macan yang erotis, Tukul Arwana, hingga Ustadz Yusuf Mansur dengan konsep sodaqohnya, Jefrey Al-Bukhori, Aa Gym, dll adalah sedikit nama yang telah mendulang keberhasilan di dunianya masing-masing.
Ya, memang tidak semua keberhasilan mereka patut ditiru. Sebagian mereka hanya mengejar keberhasilan di dunia tapi menginjak-injak moral. Orang kafir saja bisa mendulang sukses bila dia berusaha sungguh-sungguh, apalagi kita sebagai orang yang beriman, tentunya harus lebih baik lagi
See, ternyata semua bisa sukses tanpa memandang apakah itu aktivitas haram semisal goyang ngebor dan mendirikan majalah porno, ataukah aktivitas kebaikan semisal menjadi dai tersohor. Di sini berlaku hukum alam atau sunnatullah bahwa siapa pun yang berusaha maksimal maka ia akan menuai hasilnya. Halal dan haram itu tergantung pilihan manusianya. Pilihan ini mengandung resiko masing-masing yang itu semua ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. 
Nah, orang kafir saja bisa mendulang sukses bila dia berusaha sungguh-sungguh, apalagi kita sebagai orang yang beriman, tentunya harus lebih baik lagi donk. Usaha yang kita lakukan bukan melulu usaha yang mengejar kesuksesan dunia saja sebagaimana orang kafir itu. Usaha orang yang beriman itu orientasinya melesat hingga jauh ke depan yaitu sebagai bekal di akhirat kelak. Jadi ikhtiar atau usahanya harus jauh lebih maksimal daripada orang-orang kafir itu. Tambahan lagi, bidang yang digeluti oleh orang-orang beriman sudah pasti bidang yang halal bukan bidang maksiat sebagaimana yang dilakukan Om Hugh Hafner, Madonna, dan si Inul.
Most of all alias di atas itu semua, kita sebagai orang yang beriman punya Allah yang Mahamemiliki seluruh langit dan bumi. Allah itu Mahakaya jadi jangan pernah takut miskin dan gagal. Jangan pernah takut mencoba karena backing kita adalah Yang Maha segalanya. 
Kamu yang ingin jadi ilmuwan bertakwa selevel Ibnu Sina yang ahli kedokteran plus juga hafizh Qur’an, atau kamu yang ingin jadi pengusaha muslim sukses, ingin jadi penulis hebat nyaingin JK Rowling, jadi ahli computer melebihi Bill Gates, semua itu pasti bisa kamu capai, insya Allah. Intinya bersungguh-sungguhlah kamu mulai sekarang, detik ini untuk meraih semua cita-citamu yang mulia itu. Dengan izin Allah, tak ada yang tak mungkin dalam kehidupan kaum mukminin itu. So, berjuang mulai sekarang ya. Yihaa….bismillah, dengan kekuatan usaha dan doa, Man Jadda Wajada pasti bisa terwujud. Selamat meraih cita-cita.