Konflik yang baru-baru ini sering terjadi pada remaja Indonesia merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Realita tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Keresahan tersebut akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa.
Menurut seorang sosiolog, Emille Durkheim, tindakan para pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.
Permasalahan tawuran kini telah meluas lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas. Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun efek bersamaan. Efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan, penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Namun sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam masyarakat. Hal ini terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat termasuk dinamika, dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis. Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan merupakan sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin dihilangkan, tetapi hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya.
Sekalipun hanya dikurangi, namun hingga kini belum ada upaya yang serius untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal yang bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai dari kecemburuan sosial, primordialisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan dendam.
Analisis Sumber Konflik
Dalam menganalisa sumber konflik, perlu diidentifikasi penyebab tersebut berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi pertama yakni dimensi struktural yang berkaitan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dianggap kurang tepat. Misalnya kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan pemerintah turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal ini disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam sebuah kebijakan yang menurut mereka telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
Dimensi yang kedua adalah dimensi kultural. Dilihat dari dimensi ini, konflik antar pelajar remaja telah menjadi gaya hidup dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi.
Dimensi yang ketiga adalah dimensi perilaku. Hal ini berkaitan erat dengan aspek psikologis dari para pelajar remaja di Indonesia. Konflik sosial psikologis berkaitan dengan persoalan salah persepsi, sikap yang negatif, bahkan hingga ke persoalan identitas kelompok dan daerah. Identitas kelompok yang mengeras dan ekslusif menimbulkan jarak dengan kelompok lain, dan amat mudah bergesekkan dan menimbulkan konflik.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat diperoleh beberapa upaya rekonsiliasi untuk mengurangi konflik yang terjadi pada pelajar remaja. Namun upaya rekonsiliasi tersebut membutuhkan peran serta berbagai pihak dalam pelaksanaanya. Dari segi struktural, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menata ulang kebijakan pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan harapan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat membuat siswa menjadi nyaman dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Apabila siswa merasa nyaman, maka mereka tidak akan mencari kegiatan lain yang dapat mencelakakan diri dan orang lain serta cenderung untuk tidak melakukan penyimpangan.
Sedangkan dari segi kultural, upaya yang dapat dilakukan adalah pihak sekolah selaku institusi pendidikan harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi siswa. Pihak sekolah juga harus mampu membuat kegiatan yang dapat mengisi waktu luang para siswanya. Saran terakhir terakhir dari dimensi perilaku yaitu upaya yang dapat dilakukan adalah kontrol dari lembaga inti yakni lembaga keluarga. Hendaknya di dalam keluarga terdapat hubungan yang komunikatif sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam anggota keluargaan. Harapannya tentunya melalui artikel ini dapat menjadi solusi dari fenomena dalam masyarakat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar